Sunardian Wirodono: Kanal 44, Sebuah Bola Emas bagi KPID-DIY

Konon, di dalam tubuh KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ini sedang terkena bola panas Kanal 44. Setidaknya, demikian yang tersirat dan tersurat dalam tulisan Iswandi Syahputra di Harian Kompas, 21 Januari 2008.

Yang paling menarik, tulisan itu muncul dari seorang anggota komisioner KPID-DIY, dan menjadi semakin menarik, justeru ketika memberi keterangan bahwa tulisan itu merupakan pendapat pribadi.

Pendapat pribadi dari seorang anggota komisioner negara, namun diungkapkan di wilayah publik, justeru menunjuk ketidakberesan pada lembaga itu. Pertanyaannya bukan lagi: Tunggu apalagi, tetapi justeru ada apa lagi?

Diisyaratkan oleh tulisan itu, bahwa KPID-DIY menghadapi satu permasalahan sulit (bola panas), karena satu-satunya kanal, yakni kanal 44, “diperebutkan” oleh enam (di lain alinea disebut tujuh, mana yang benar?) investor.

Namun permasalahan yang sulit itu, dikunci dengan jawaban yang amat mudah: Digitalisasi saja, meski sandaran aturan hukumnya tidak ada, namun hal itu akan menyelesaikan masalah dengan adil, karena menurutnya, tidak ada investor yang dirugikan.

Pada sisi ini, keanehan itu muncul. Bagaimana mungkin seorang anggota komisioner KPID (meski sekali pun itu pendapat pribadi), lebih menitikberatkan pada kepentingan investor, dan sama sekali abai dengan tugas utamanya mengawal kepentingan publik?

Betapa pun amburadulnya sebuah sistem perundangan, jika kembali kepada UU 32/2002 tentang Penyiaran, dan mengacu pada PP 50/2005 khususnya mengenai persyaratan pendirian televisi swasta (khususnya Pasal 3, 4, dan 5, dan seterusnya), tidak ada persoalan yang perlu diributkan oleh KPI dan KPID. Lembaga ini, memiliki otoritas, sekali pun digerogoti oleh pemerintah dalam pasal-pasal Peraturan Pelaksanaannya.

Karena itu kemudian menjadi tidak relevan, ketika penulis yang anggota KPID (namun menulis di ranah publik dengan mengaku opininya sebagai pendapat pribadi), mempertentangkan antara investor industri televisi yang padat modal dengan gaji komisioner yang “harus ditinjau ulang”, meski tetap dengan gaya khas Ngayogyakarta asal “tetap mengacu pada kemampuan APBD DIY”.

Tulisan itu, justeru menelanjangi wajah KPID DIY ke permukaan publik. Jika itu dianggap blessing in disgues bagi pengetahuan publik, maka bola panas itu bisa saja menjadi bola liar. Tergantung agenda masing-masing pihak, melihat persoalan ini. Investor pada satu sisi, DPRD dan masyarakat pada sisi lain, serta pihak eksekutif, yang kesemuanya itu belum melihat apa pekerjaan KPID-DIY.

Beberapa waktu lalu, ketika muncul peraturan menteri Menkoinfo yang menganulir siaran berjaringan diundur hingga 2009, statemen KPID-DIY cukup menggigit, untuk merebut 10 kanal yang selama ini dikuasai TV Swasta (Lokal) Jakarta. DIY, katanya akan menolak permen itu!

Sayang, gagasan mulia (sekali pun berbau elitis) itu, tidak memiliki kaki yang cukup kuat, sehingga lempoh sebelum sempat berjalan. KPID tidak mampu mendorong wacana itu menjadi kepentingan bersama. Dan tidak mampu menangkap momentum itu untuk menunjukkan “karakter istimewa” dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tentu saja, menjadi kewenangan KPID DIY, untuk menyeleksi siapa dari enam investor itu yang layak mendapatkan kanal 44. Aturan yang ada, sudah jelas menunjuk pada prasyarat dan dengan sendirinya kriteria. KPID juga mendapat kewenangan, karena memiliki otoritas kedaerahan, dengan menimbang berbagai aspek sosiologi, kultur, dan ekonomi daerah. Untuk itulah KPI (dan KPID) didirikan sebagai pengawal UU 32/2002, dengan spirit desentralisasi sebagaimana kemudian mengerucut pada UU Penyiaran beserta UU Otonomi Daerah, sebagai hasil amanat reformasi 1999, yang menggusur sentralisme Orde Baru Soeharto.

Ide digitalisasi, adalah ide khas pragmatis Indonesia, ketika mengalami berbagai kebuntuan. Namun ide ini, pada akhirnya juga ditinggalkan (dan dianggap ketinggalan jaman), karena tidak menyelesaikan substansi permasalahan. Digitalisasi itu enak di buku teori komunikasi, namun dalam praksisnya, mengundang berbagai keruwetan baru, karena supra dan infrastrukturnya harus dibangun terlebih dulu. Jika tidak, maka kita akan mengalami blunder. Digitalisasi sebagai satu-satunya opsi, daripada enam investor berebut satu kanal, adalah pandangan menyesatkan.

Jika permasalahannya adalah “ketidakberanian” dan “ketidakenakan” menolak investor (sekali pun alasan itu terdengar ajaib), KPID-DIY bisa menyertakan masyarakat dalam public-hearing, untuk memformulasikan kepentingan publik sebagai prasyarat-prasyarat dalam proses seleksi.

Adalah wajar jika hanya tersedia satu ruang tapi diperebutkan oleh lebih dari satu pihak, ada yang terpilih dan tidak terpilih. Jika hanya ada satu roti, diperebutkan oleh enam anak, bisa jadi jalan keluarnya adalah masing-masing menerima seper-enam roti. Tetapi analogi itu tidak bisa diterapkan, karena roti itu bisa jadi hanya berimplikasi pada enam anak. Pada dunia penyiaran, di samping investor, ada kepentingan masyarakat. Pada sisi kepentingan masyarakat itulah, inti pembelaan KPI dan KPID untuk memilih mana yang terbaik.

Jika ditanya, bagaimana cara memilih yang terbaik? Tanyalah kepada anggota masyarakat, atau rakyat, pihak yang sesungguhnya selama ini (secara filosofis) menjadi sandaran bagi keberadaan lembaga negara bernama komisi penyiaran itu. Dan hal ini, tidak berkait dengan tebal-tipisnya iman, atau pun kecil dan belum jelasnya kepastian sistem penggajian. Di situ perbedaan seorang komisioner dengan seorang karyawan.

Kanal 44, sesungguhnya bukan bola panas. Dalam logika positivisme, ia adalah bola emas untuk menunjukkan eksistensi KPID-DIY, dalam menegakkan citra dirinya.

Sunardian Wirodono, penggerak Matayogya (Masyarakat Televisi Alternasi Yogyakarta), dan anggota Jogjakarta Television Forum.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Tinggalkan komentar